Friday, March 4, 2011

Cinta sebagai fungsi Matematika???

Iya lucu juga n menginspirasi serta memotivasi email dari millist tf-its@yahoogroups.com
ditulis oleh alumni Tf, Ratmajaya Urip. Ini penjelasan dari Beliau:








Love is a Function of Mathematics

(L = PxS / DxT)

Oleh: Ratmaya Urip*)


1. Love is a Function of Mathematics
Sebelumnya saya telah menyampaikan, bahwa “Cinta itu Fungsi Matematik” (Love is Function of Mathematics), yang mengikuti rumus atau formula L = PxS / DxT. (Notes: L = Love, P = Power, S = Speed, D = Distance, T = Time). Jika dinarasikan: “LOVE berbanding lurus dengan POWER dan SPEED, namun berbanding terbalik dengan DISTANCE dan TIME)”. Maaf, sengaja tidak saya tambahkan imbuhan konstanta alpha, beta, atau gamma, seperti fungsi matematik pada umumnya, supaya mudah dicerna. Untuk itu mohon maaf kepada para ahli matematika atas kelancangan saya).

Karena saya bicara tentang keuniversalan, maka sebagai PROLOG, saya ingin memberi batasan, bahwa yang dimaksud dengan LOVE di sini merupakan LOVE yang hanya berdimensi hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia atau hubungan horizontal), bukan yang berdimensi hablumminalloh (hubungan manusia dengan Sang Pencipta atau hubungan vertikal), karena saya bukan ahlinya. Itupun terbatas hanya pada perspektif hubungan antarmanusia yang berlainan jenis yang menginginkan dan atau sedang dalam pelukan LOVE. Tidak termasuk hubungan manusia (baca: LOVE) dengan keluarganya, pekerjaannya, lingkungannya, machluk hidup lainnya, negaranya, dan lain-lain. Apakah rumus tersebut berlaku juga untuk dimensi atau perspektif yang lain? saya belum membuktikannya! Yang pasti tulisan ini hanya sebagai response keterkejutan saya pada cerita tentang “Suami dan Gadis Penggoda”, karena sikap suami seperti yang ditunjukkan dalam cerita tersebut merupakan barang langka yang dapat disebut antique. Sekaligus untuk merefleksikan kekaguman saya pada si “suami”. Bagaimanapun juga, cerita tersebut sangat “inspiring”, “motivating”, “energizing”, “exciting”, “interesting”, and “fascinating” bagi saya. Semoga juga bagi anggota milis lainnya. Dengan kata lain, semoga formula atau rumus saya tersebut dapat terpatahkan dan terhempas keras oleh waktu dan sikap moral yang positif.

Jangan salah, LOVE mempunyai infrastruktur yang bersifat rasional, emosional, dan spiritual, yang berinteraksi secara proaktif, bukannya reaktif. Ketiganya membentuk bauran seperti halnya bauran pemasaran (marketing mix) 4P. Hanya kalau LOVE memiliki 3 (tiga) elemen pokok yang akronimnya adalah RES, sementara bauran pemasaran memiliki 4 (empat) elemen inti 4P. Sehingga dapat disusun matrix-nya, atau dianalisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Analytical Network Process (AHP) dari Saaty, baik yang menggunakan software seperti Expert Choice maupun Super Decision.

Perlu diingat dan dipahami, kalau kita bicara spiritual, itu bukan berarti hanya menyangkut bersujud ke arah kiblat di atas sajadah ke haribaan Allah Swt, berlapar-lapar puasa di bulan Ramadhan, dll. Serta juga bukan hanya bernyanyi menyenandungkan kidung doa dengan berjajar menghadap altar serta menerima “altar cake” dari Romo atau Pendeta, menyalakan hio dan dupa di antara lilin-lilin di dalam pagoda, menabur kembang di pura untuk Hyang Widi Wasa, merintih di depan tembok ratapan, dan ritual-ritual keagamaan lainnya, karena ibadah memiliki esensi tidak hanya vertikal, namun juga horizontal. Sementara esensi taqwa adalah berserah diri kepada Yang Maha Esa, untuk kemaslahatan vertikal maupun horisontal. (Mohon maaf Bpk Kyai, kalau saya salah, karena saya hanya santri diniyah, belum ibtidaiyah, apalagi tsanawiyah atau aliyah, mohon diluruskan jika pemahaman saya salah).


Tentang rasional, emosional, dan spiritual (RES), ternyata juga dipakai dalam Ilmu Pemasaran, hanya bedanya di Pemasaran tersusun secara hierarkis. Dimana customer diharapkan oleh producer untuk dapat memiliki spiritualisme dalam memenuhi kebutuhan atas produk dan jasanya, tidak hanya sekedar emosionalisme, apalagi rasionalisme. Maaf, kepada para pakar Pemasaran, mohon diingatkan kalau saya salah, saya cuma cantrik yang sedang nyuwito atau ngenger di Padepokan (He.he.he..saya jadi ingat peri laku Pailul, yang mirip saya, mendampingi sahabatnya, Panji Koming, yang serba salah ketika sowan ke hadapan Sang Begawan, karena ingat Ni Dyah Gembili, pacarnya, yang mungkin sedang bersama Ni Woro Ciblon, dalam serial strip komik Panji Koming & Pailul karya Dwi Koendoro sejak 14 Oktober 1979 di KOMPAS Minggu). Di Padepokan untuk ngangsu kawruh dengan maksud supaya dapat memiliki ngelmu kang linuwih, karena saya belum dan bukan apa-apa, saya hanya sudro, utawi pidak pedarakan ingkang ngelak ing ngelmu. Amargi ngangsu kawruh salaminipun gesang punika saged anglanggengaken pasederekan lan njangkah ing margining ngagesang ingkang tuhu). Tentang hal ini biarlah nanti beliau-beliau yang ahli Pemasaran yang dapat menjelaskan. Saya sedang dalam posisi untuk belum memiliki kompetensi yang cukup tentang hal ini. Hanya tahu sedikit-sedikit, sekedar pancingan agar ahlinya yang bicara. Mencoba untuk lebih intens dalam berinteraksi di milis ini. (Maaf pakai Bahasa Jawa Krama Inggil, mencoba untuk menapaktilasi peninggalan Ki Hajar Dewantara yang abadi: “Ing ngarsa sung tulada,Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”, filosofi yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di berbagai bidang, termasuk bidang manajemen)

2. Mengelola Cinta adalah Investasi

Saya akan mulai dari statement, bahwa mengelola Cinta itu adalah suatu INVESTASI. Maaf jika statement ini agak materialistik. (Catatan: menurut saya kita memang harus materialistik asal proporsional. Bayi dalam kandungan saja perlu nutrisi/materi untuk dapat melanjutkan tumbuh-kembangnya di kandungan. Semua machluk hidup perlu materi berupa unsur hara atau nutrisi. Asal proporsional jangan RAKUSional atau TAMAKional). Demikian juga Cinta (LOVE) jangan berlebihan.

Cinta atau LOVE (L) memang dapat dianalisis dari berbagai aspek di antaranya aspek ekonomi, budaya, knowledge (matematika, fisika, geologi, komunikasi, psychologi, dll), agama, manajemen, dll.. Tentang hal ini akan saya masukkan dalam SERIAL FILOSOFI MANAJEMEN, yang serial pertamanya sudah meluncur di milis ini dengan judul FILOSOFI MUSIK. Tentang LOVE, masuk dalam serial tersebut dengan topik FILOSOFI CINTA. Jumlah serialnya sendiri direncanakan mendekati jumlah ASMAUL HUSNA, karena saya amat mengagumi kebesaran Allah Swt, dan semua yang saya tulis semata-mata karenaNYA. Tapi akan ditulis secara populer dan universal. Musik, cinta, tukang kayu, makanan, dan lain-lain itu universal kan?


Sebenarnya sebelum ini ada issue yang sangat menarik di milis ini, yaitu tentang Manajemen Konflik, yang mengilhami saya untuk menulis tentang Filosofi Konflik, namun ternyata lebih dulu menulis tentang LOVE, yang muncul karena terinspirasi oleh cerita tentang “Suami dan Gadis Penggoda”, sehingga perbendaharaan formula/rumus lama saya muncul kembali. Saya jadi ingat pemeo saya: “kesempatan tanpa persiapan tidak akan menjadi ‘luck’, sementara persiapan tanpa kesempatan juga akan terbuang dengan percuma, tidak akan menjadi ‘luck’”. Kebetulan saya telah ada persiapan berupa formula atau rumus matematik tentang LOVE, sementara “kesempatan baik” tiba-tiba muncul seiring hadirnya joke “Suami dan Gadis Penggoda”. Padahal serial lainnya sudah lebih dahulu siap edar. Momentum kan perlu dimaknai dan dimanfaatkan secara lebih, bukan? Ini namanya kesempatan, yang kebetulan saya sudah ada persiapan, meskipun sudah lama, dan boleh juga disebut persiapan yang basi. Jadilah “luck” karena menginspirasi saya untuk menulis serial ini.

3. Love Versus Power

CINTA dalam kajian matematika kan perlu ada penjelasan dan solusi matematisnya. Kalau mau bersusah-susah sedikit untuk jeli, apapun sebenarnya dpt dikaji secara matematis. Krn kebetulan latar belakang pendidikan saya adalah ilmu exact yg terdampar di dunia manajemen. Orang exact pd umumnya memiliki pola pikir CONVERGEN, krn selalu mempermudah segala sesuatu yg sulit, shg mereka selalu menggunakan formula atau rumus2 jk ingin mendapatkan solusi atas suatu masalah. Contohnya: Einstein merumuskan masalah rumit dlm ilmu fisika "hanya" dengan teori relatifitasnya E=mc2. Begitu pula dg Phytagoras, Archimedes, Kepler, Newton, dll. Hanya mereka kan memang bergelut di bidang yg exact. Jarang sekali fenomena sosial yg solusinya dilakukan dengan pendekatan secara exact. Maka ttg LOVE, saya mencoba utk mencari formulasinya secara matematis, meskipun lebih mudah mengkajinya secara fisis maupun biologis.

Sementara teman2 dr bidang non-exact lebih cenderung ke pola pikir DIVERGEN, maaf, lebih cenderung memperdalam apa yg sebenarnya sederhana. Contohnya: Pancasila yg jumlahnya lima itu dikaji sampai dalam sekali. Saya sendiri suka berpola pikir CONVERGEN maupun DIVERGEN, spy balance, dan tergantung masalahnya

Kembali ke pokok bahasan. LOVE (L) berbanding lurus dg POWER (P), krn L akan mudah didapat oleh orang yg memiliki P besar. P melambangkan status sosial, kekayaan, dll. Memang ada perkecualian, namun tidak banyak. Jika diteliti dugaan saya mengikuti kurva lonceng GAUSS. Ordinary, LOVE memiliki pangsa sekitar 80%. Sementara yg extra-ordinary, baik yg superior maupun inferior memiliki kans 20% dr kajian statistik. Ini hipotesis saya. Uji hipotesisnya, maaf tdk dpt saya sampaikan krn menyita tempat. Sebagai ilustrasi memang ada LOVE yg berhasil yang terjadi tapi merupakan anomali dr formula saya, tp jumlahnya tdk banyak, dimana LOVE dinikmati oleh mereka yg P-nya kurang. Kalau tokh kelihatan banyak itu krn terobsesi oleh dongeng-dongeng Cinderella-Sang Pangeran, Romeo-Juliet, Raramendut-Pranacitra, Layonsari-Jayaprana, Saidjah-Adinda, Siti Nurbaya-Syamsul Bahri, Panji Semirang, dll. Kalau tokh saya harus memberikan apresiasi saya akan memberikannya pd LOVE yg berkibar pd diri Widyawati-Sophan Sophian dan Setyawati-Prabu Salya dlm epos Bharatayudha. Tapi itu kan sample utk mendukung formula saya. Krn terjadi pd mereka yg sama2 memiliki P yg besar?


4. Love Versus Speed

Dalam persaingan apapun, termasuk dalam mendapatkan Love, pasti berlaku hukum ”siapa cepat dia akan lebih berpotensi untuk dapat”. Jika tidak ada upaya yang serius dengan kecepatan (kelajuan) yang prima untuk mendapatkannya pasti akan kalah dengan kompetitor. Orang yang ingin mendapatkan Love, tetapi tidak menunjukkan keinginannya sama sekali secara lebih cepat, atau malah ragu-ragu untuk ”menembak” (istilah anak muda jaman mutakhir untuk menyatakan cinta), maka dia akan membuat yang ”ditembak” akan bingung, dan akan memilih yang lebih pasti dan lebih cepat. Saya kira tentang hal ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut, karena mudah dipahami. Sebenarnya ada aspek lainnya di samping speed (kelajuan atau kecepatan) yaitu acceleration (percepatan), namun hipotesis saya belum sampai ke sana.

Menanggapi masukan Bpk. Thomas Nick, memang benar bahwa Speed itu Distance / Time. karena Speed, Distance, dan Time terhubung secara linear, namun itu jika kita bicara secara ilmu exact murni, dimana pola pikirnya memang wajib CONVERGEN. Tapi yang dibahas ini bukan ilmu exact namun non-exact, sehingga mau tidak mau kita wajib ber”mindset” DIVERGEN, sehingga saya belum sependapat jika equation awal bisa di nyatakan dalam dua variabel bebas saja, yaitu P dan kuadrat dari T, seperti masukan Bpk. Thomas. (Maaf, kebetulan salah satu pendidikan saya adalah dari disiplin ilmu Teknik Sipil, di samping ilmu2 dengan disiplin lain, baik yang exact maupun non-exact, sehingga tidak perlu bertanya kepada temen2 dari Teknik Sipil seperti masukan Bapak. Juga karena saya juga memiliki basis pendidikan non-exact, maka pola pikir saya selalu variatif, kapan diperlukan CONVERGEN, kapan diperlukan DIVERGEN, itulah biangnya. Yang penting kedua pola pikir tersebut dapat memberikan solusi yang cepat, efektif dan efisien, dan benar-benar dapat dipahami dan disepakati). Btw, sangat menarik apa yang Bpk sampaikan sebagai masukan. Masukan Bpk sangat inspiring, energizing, empowering, motivating, exiting, fascinating, exciting and interesting. Karena tiba-tiba kemudian saya mulai berpikir tentang formula dalam Ilmu Teknik Sipil lainnya, khususnya Hidrolika atau Mekanika Fluida yang dapat diformulakan sebagai formula Love juga. Yaitu tentang Formula Debit Air, Q = A x S (Debit, berbanding lurus dengan Luas/Area penampang dan Kecepatan/Speed) serta Formula kedua, Q = V / T (Debit, berbanding lurus dengan Volume, namun berbanding terbalik dengan Waktu/Time). Ini sangat dekat untuk menjabarkan tentang Love. Coba saya akan membuktikannya. Tentu saja saya akan mebuat hipotesisnya, untuk diuji hipotesis.




5. Love Versus Distance

Distance atau jarak, merupakan aspek ketiga yang perlu dicermati. Jujur saja, jika kita memiliki Love, namun memiliki Distance yang besar, sangat rawan terhadap distorsi. Godaan banyak sekali yang menerpa. Jika Distance semakin besar sehingga kesempatan untuk menjadi dekat menjadi lebih sulit, misalnya Distance-nya sampai antar-negara atau antar-benua, kesempatan godaan untuk masuk besar sekali, yang ujung-ujungnya akan membuat Love berpaling jika tidak kuat menghadapi godaan. Kasus tentang hal ini cukup banyak. Yang paling fenomenal adalah banyaknya TKW yang sudah bersuami, yang mengandung anak di luar nikah dengan yang bukan pasangannya di negara tempat dia bekerja, atau banyaknya kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh para istri yang suaminya menjadi TKI di luar negeri, karena menisbikan Love. Mana kuat bagi kebanyakan lelaki jika melihat ada wanita sendirian, jika tanpa dibekali Love atau iman yang kuat. Kasus terakhir, seorang Kapolsek di Jatim digerebeg massa, karena berhubungan dengan wanita yang ditinggal suaminya bekerja sebagai TKI di luar negeri. Belum lagi kasus-kasus yang lain. Pada intinya, semakin jauh Distance, sehingga semakin jarang tatap muka akan lebih sering mengkhianati Love. Dengan kata lain, jika Distance semakin besar, maka Love akan mengecil, atau Love berbanding terbalik dengan Distance.

6. Love Versus Time

Marilah kita jujur. Jika usia perkawinan kita semakin panjang (Time semakin besar), apakah Love kita kepada pasangan kita akan sama magnitute-nya atau besarannya? Ada pemeo yang mengatakan, bahwa jika semakin lama berumah tangga, maka pasangan kita akan semakin dipandang sebagai saudara. Sehingga sex menjadi membosankan Usia rawan bagi perkawinan konon adalah di atas 5 (lima) tahun, karena Love mulai menurun, sehingga rawan terjadi godaan. Memang benar ada pemeo Jawa yang sangat populer: ”witing tresna jalaran saka kulina”, itu jika kita baru mulai memasuki pendekatan untuk mendapatkan Love, atau PROLOG-nya. Tapi pada episode EPILOG, menurut saya, pemeo-nya berubah menjadi: ”witing bubrah jalaran saka mlumah”, karena semakin kita memiliki Time yang panjang, maka sex dengan pasangan semakin membosankan (sex di sini untuk euphemisme, di notasikan dengan kata ”mlumah”). Maka banyak sekali kasus pasangan yang kemudian selingkuh. Ingat, sex adalah kelengkapan atau kesempurnaan Love. Love diakui atau tidak, akan lebih lengkap jika disempurnakan dengan sex. (seperti halnya ”Empat Sehat Lima Sempurna”). Apalagi karena tuntutan yang sangat manusiawi, bahwa sex memiliki fungsi regenerasi atau reproduksi, di samping fungsi rekreasi dan retardasi. Sex yang menyimpang yang tidak didasari Love, hanya berbasis nafsu semata memang banyak, namun itu bukan Love,. karena tidak didasari iman yang kuat. Apalagi jika dari sisi wanita tidak dibekali ”real Love”, hanya dibekali atau modal ingin dapat melakukan Mo-Limo (Lima-M): Macak, Masak, Manak, Mangan, Mlumah), yang kemudian prianya juga hanya berbekal Mo-Limo (Lima-M): Main, Madon, Minum, Madat, dan M.....(maaf yang satu lupa!).

Dengan kata lain, konklusinya Love semakin mengecil jika Time membesar, atau Love berbanding terbalik dengan Time.

Bpk Thomas Nick menyampaikan: ”That's why banyak pasangan yang setelah pensiun dan akhirnya spend waktu bersama yang lebih banyak (proximity) dan melakukan sesuatu yang disukai bersama (familiarity) merasakan jatuh cinta untuk kedua kalinya”. Itu memang benar. Tapi ingat, bahwa itu terjadi setelah pensiun. Bagaimana jika sebelum pensiun dan masih muda, namun memiliki Time yang panjang dengan Love-nya? Usia pensiun memang membuat ”familiarity” bertambah karena kesepian ditinggal anak-anak yang sudah berumah tangga, juga karena aktifitas menjadi berkurang. Sehingga Love sering muncul, namun konteksnya lebih ke konteks Love bukan sebagaimana Love antar-pasangan lain jenis, namun Love dengan dimensi lain, dimana pasangan sudah kita anggap sebagai saudara, atau sebagai keluarga. Ingat, di depan sudah saya sampaikan, bahwa Love dalam formula saya, adalah Love khusus untuk hubungan antar lawan jenis. Juga ingat fenomena puber kedua, puber ketiga, puber keempat, dan seterusnya, yang lebih dikonotasikan pada ”kegenitan” bukan kepada pasangan kita, yang seolah-olah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang umum. Itu jika kita mau jujur. Coba simak, atau tanyakan ke lembaga-lembaga perkawinan, atau psycholog perkawinan, tentang fenomena ini. Data terbesar tentang maraknya perceraian memang terjadi karena Power (ekonomi) yang lemah, namun data tentang adanya perceraian karena Distance atau Time yang besar merupakan ”invisible case” atau ”silence data”.





Itulah kemudian saya mencoba memperkenalkan formula: L = P x S / D x T. Namun demikian, karena formula tersebut masih uji publik, maka saya sangat mengharapkan masukannya, karena memang belum tentu benar.

Terima kasih.

Wass.




Ratmaya Urip

No comments:

Post a Comment